'Saya nyaris bunuh diri, sekarang saya membantu ibu lain hadapi depresi pascamelahirkan'

- Penulis, Astudestra Ajengrastri & Lara Owen
- Peranan, BBC World Service
Di seluruh dunia, termasuk Indonesia, banyak ibu tak mendapatkan skrining kesehatan mental selama kehamilan dan pascamelahirkan. Inisiatif bermunculan, diprakarsai oleh para perempuan penyintas.
Peringatan: Artikel ini memuat konten tentang bunuh diri yang mungkin dapat membuat Anda merasa tidak nyaman.
Saat Nur Yanayirah kehilangan bayinya yang lahir mati (stillbirth) ketika usia kehamilan 28 minggu pada 2011 lalu, dunia seperti runtuh.
"Saya marah. Marah pada diri sendiri, marah kepada Tuhan, marah kepada suami, bahkan marah kepada tenaga kesehatan."
Yana, begitu dia dipanggil, mengingat masa itu dengan getir.
Proses persalinan selama tiga hari dan tiga malam untuk bayi yang jantungnya tak lagi berdetak itu menguras fisik Yana—juga mentalnya.
Selama berbulan-bulan setelahnya, ia susah tidur, tak bersemangat menjalani hidup, dan mulai berhalusinasi.
"Saya seperti mendengar suara bayi di mana-mana. Melihat guling atau bantal, itu seperti melihat bayi," dia berkata.
Tiga bulan setelah kehilangan anak pertamanya, Yana hamil lagi. Dengan kehamilan yang berisiko tinggi, perempuan yang kini berusia 38 tahun ini harus tirah baring total selama sembilan bulan.

Sumber gambar, Nur Yanayirah
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Selama itu pula, Yana bergelut dengan pikiran-pikiran negatif. Bagaimana bila bayi yang ini juga meninggal dunia? Apakah ia ibu yang gagal karena tak bisa mempertahankan bayi dalam kandungannya?
"Setelah bayinya lahir, saya merasa tidak ada ikatan batin yang kuat dengan dia," ujar Yana.
Pikiran-pikiran intrusif mulai memasuki kepalanya. Ia mengaku merasa seperti "orang paling bodoh di dunia" dan merasakan dorongan kuat untuk mengakhiri hidup, bahkan menyakiti bayinya.
"Bagaimana kalau misalnya saya banting bayi ini ke tembok, mungkin beban ini akan hilang. Atau bagaimana kalau saya 'pergi' saja, mungkin bayi ini akan dirawat oleh orang yang lebih menyayangi dia dengan sepenuh hati," lanjut Yana.
Berasal dari keluarga religius, Yana berusaha mencari jalan keluar dengan lebih rajin beribadah. Namun memperbanyak doa tak lantas membuatnya keluar dari keterpurukan.
"Setiap pagi saya bangun dan merasa tak ada harapan. Saya seperti berada di ruang yang gelap dan dalam."
Baca juga:
Tanpa Yana sadari, saat itu ia mengalami Depresi Pascamelahirkan (postpartum depression—PPD) dan Gangguan Stres Pascatrauma (post traumatic stress disorder—PTSD).
"Trauma yang timbul setelah melahirkan bayi yang meninggal itu belum teratasi, kemudian menjadi depresi setelah melahirkan anak yang kedua," terang Yana.
Kondisi ini baru diketahui setelah bayinya berusia sembilan bulan. Saat itu pula dia berupaya melakukan bunuh diri bersama sang bayi.
Beruntung, Yana ditolong seseorang yang berhasil mencegahnya melakukan niat itu. Bersama suaminya, ia akhirnya memutuskan mencari pertolongan profesional dengan berkonsultasi pada psikiater.
"Saat saya medekap bayi sembilan bulan itu, menyentuh kulitnya, mencium baunya... dia melihat mata saya. Dan meski saat itu saya belum punya bonding (ikatan) dengannya, buat dia, saya ibu sempurna," ujar Yana.
"Saat itu saya tahu, saya harus sembuh untuk anak ini."
Apa itu kesehatan mental pada ibu?
Kesehatan mental pada ibu (maternal mental health) dan kesehatan mental perinatal, mengacu pada proses psikologis yang terjadi selama periode kehamilan, melahirkan, dan pascamelahirkan hingga sekitar dua tahun pertama kehidupan bayi.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 10% ibu hamil dan 13% ibu yang baru melahirkan mengalami permasalahan kesehatan mental di seluruh dunia.
Di negara berkembang seperti Indonesia, menurut WHO, jumlahnya bahkan lebih besar hingga mencapai 15% pada masa kehamilan dan 20% setelah melahirkan.

Sumber gambar, Getty Images
Di Indonesia, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat 57% ibu—atau enam dari sepuluh ibu—menunjukkan gejala awal sindrom baby blues pada 2024.
Angka ini tertinggi di Asia untuk risiko baby blues, sebut BKKBN, seperti dikutip dari kantor berita Antara.
Sindrom baby blues, menurut BKKBN, adalah keadaan depresi yang bersifat sementara dan biasa dialami oleh kebanyakan ibu yang baru melahirkan karena adanya perubahan hormon.
Menurut psikolog Anisa Cahya Ningrum, gejalanya bisa berupa mengalami perasaan sedih yang tiba-tiba muncul tanpa sebab dan membuat ibu lebih banyak menangis. Kondisi ini bisa berlangsung hingga dua pekan lamanya.
Untuk depresi postpartum yang kondisinya lebih berat, tambah Anisa, angkanya sekitar 15% dari ibu yang baru melahirkan. Jika tidak tertangani dengan baik, depresi bisa berkembang menjadi psikotik pascamelahirkan.
"Prevelansinya lebih sedikit, mungkin cuma 1%, tapi risikonya ibu-ibu yang mengalami ini bisa sampai melukai diri sendiri, bahkan anaknya," tukas Anisa.

Sumber gambar, Getty Images
Salah satu gejala yang harus diawasi, menurut Anisa, adalah jika ibu mulai merasakan halusinasi, termasuk mendengar "bisikan-bisikan tidak rasional".
"Seperti bisikan bahwa dirinya tidak berharga. Sehingga muncul perasaan, 'lebih baik saya mati dan saya ajak anak saya, daripada nanti tidak ada yang mengurusi'," kata Anisa.
Sayangnya, pemahaman masyarakat tentang kesehatan mental perinatal masih kurang, sehingga kerap kali ibu yang disalahkan.
"Padahal ini penyakit, jadi memang harus dibantu dengan pengobatan," tukas Anisa.
Untuk pencegahan, Kementerian Kesehatan pada 2024 menganjurkan skrining kesehatan jiwa sebanyak tiga kali untuk ibu hamil: Dua kali selama masa kehamilan di trimester pertama dan ketiga, dan sekali lagi pada masa nifas atau 2-28 hari setelah persalinan.
Stigma terberat, dari diri sendiri
Selama sembilan bulan, Yana mengaku menderita sendirian dalam jurang depresi.
"Tidak ada yang memahami, tidak ada yang memberi informasi," kata Yana.
"Saat saya pulih, saya mencoba menyediakan dukungan yang tidak saya punya dulu."
Setelah pulih dari depresi pascamelahirkan 12 tahun yang lalu, Yana membagikan kisahnya di Facebook. Tak disangka, respons dari ibu-ibu yang mengaku mengalami hal serupa membludak.
Pada 2015, ia mendirikan MotherHope Indonesia. Komunitas ini bertujuan memberikan kesadaran tentang kesehatan mental perinatal, juga memberi dukungan untuk ibu-ibu dan keluarganya.
MotherHope Indonesia kini telah memiliki 200 relawan terlatih, mengadakan berbagai sesi kelompok dukungan dan kelas masak untuk ayah, juga beranggotakan 58.500 orang yang tersebar di 100 kota dan 59 negara di Facebook.

Sepuluh tahun berdiri, Yana mengatakan MotherHope Indonesia telah berhasil mendorong sejumlah kebijakan.
Salah satunya memasukkan muatan kesehatan mental ibu dalam buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
"Bidan atau tenaga kesehatan, saat memeriksa ibu hamil dan nifas harus menanyakan kondisi psikologis ibunya. Ini bisa mencegah kejadian depresi semakin parah," kata Yana.
Namun tujuan utama komunitas ini adalah memberi dorongan supaya ibu yang mengalami masalah kesehatan mental dapat mengatasi stigma, terutama yang datang dari diri sendiri.
"Ketakutan dianggap sebagai ibu yang tidak becus dan ibu yang buruk. Ini adalah ketakutan luar biasa yang datangnya dari diri sendiri," ujar Yana.
Selain itu, ketakutan ditinggalkan suami atau anak diambil oleh anggota keluarga lain atau otoritas, menjadi alasan terbesar ibu urung mencari bantuan profesional—baik ke psikolog maupun psikiater.
Belum ada data berapa jumlah ibu dengan depresi pascamelahirkan di Indonesia. Namun, sejumlah hambatan—seperti stigma sosial—mempersulit akses ibu memperoleh bantuan.
Hambatan lain, kata Yana, masih adanya ketimpangan gender yang besar. Di MotherHope Indonesia, misalnya, masih ada ibu yang gagal mendapat bantuan kesehatan mental karena tak diizinkan suami.
"Walaupun dia punya BPJS, tapi kalau suaminya tidak mengizinkan dia ke psikiater, ya dia tidak akan pergi, meskipun kondisi mentalnya sudah parah."
KDRT dan ketergantungan finansial pada suami juga menjadi alasan besar.
Faktor lain adalah tingkat pendidikan dan usia. Ibu yang masih remaja berisiko lebih tinggi mengalami depresi saat hamil dan melahirkan, bila dibandingkan dengan perempuan yang usianya lebih matang.
Di sejumlah daerah di Indonesia, tambah Yana, juga masih ada tenaga kesehatan yang belum teredukasi soal kesehatan mental ibu.
"Jadi, tenaga kesehatan justru menstigma ibu yang mengalami depresi. Dibilang lebay atau drama queen," kata Yana.
Baca juga:
Berdasarkan survei Maternal Mental Health Alliance di Amerika Serikat, sebanyak 75% ibu yang mengalami gejala gangguan mental tak tertangani, sehingga risiko negatif kepada ibu, bayi, dan keluarga meningkat.
Sejumlah penelitian mengungkap, depresi perinatal dan kecemasan yang tidak tertangani diperkirakan menimbulkan kerugian finansial sebesar Rp46,2 triliun di Afrika Selatan, Rp80,9 triliun di Brasil, dan Rp272,3 triliun di Pakistan.
Estimasi dibuat berdasarkan prevelansi dan dampaknya kepada kesehatan, kualitas hidup, dan produktivitas ibu.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut sejumlah faktor seperti kemiskinan, trauma, dan rendahnya dukungan sosial, meningkatkan risiko berkembangnya kondisi kejiwaan.
Ruang aman untuk bercerita
Bergabung dengan MotherHope Indonesia menjadi titik balik bagi Nadia Calista, 36 tahun, dan suaminya, Rakean Andana, 40 tahun.
Nadia melahirkan anak pertamanya pada 2020, saat pandemi Covid-19 masih merebak. Bayangan untuk bisa melahirkan normal pupus karena sejumlah komplikasi.
Saat rencananya berantakan, ditambah proses persalinan tak bisa didampingi suami lantaran ketatnya protokol kesehatan, Nadia diserang kecemasan hebat.
Setelah melahirkan, Nadia terpuruk dalam kesedihan yang tidak bisa dijelaskannya.
"Sedihnya berkepanjangan. Menangis, tidak bisa tidur, tidak mau makan, mood (suasana hati) berantakan," kata Nadia.

"Saya enggak tahu, istri nangis kenapa. Marah-marah kenapa. Saat pertama itu terjadi, saya bingung," tukas Rakean, suami Nadia.
Pasangan ini kemudian memutuskan konsultasi ke dokter spesialis kesehatan jiwa, yang lalu mendiagnosis Nadia dengan gangguan kecemasan dan depresi pascamelahirkan.
Sebelum menikah, Nadia memang pernah didiagnosis dengan Generelised Anxiety Disorder. Memiliki riwayat masalah kesehatan mental meningkatkan risiko Nadia mengalami depresi.
Saat menemukan MotherHope Indonesia, Nadia mengatakan mendapatkan "wadah yang aman untuk saling bercerita" dan apa yang dirasakannya "memang nyata".

Berbagai kelas untuk suami yang diikuti oleh Rakean juga memberi pengetahuan dalam memberikan dukungan kepada sang istri.
"Jadi kalau dia bilang, 'Saya enggak bisa menjadi istri yang baik, bukan ibu yang baik', harus dibalas. 'Enggak juga, kamu sudah melakukan ini buat saya, sudah banyak berkorban demi anak-anak'," ujar Rakean.
Anggota MotherHope Indonesia yang lain, Luthfia Nur Adisti, 32 tahun, juga tak menyangka kelahiran anaknya pada 2018 lalu justru mengantarnya ke lembah depresi.
"Padahal, ini kan anak yang sudah kita tunggu-tunggu, sembilan bulan dibawa kemana-mana," kata Mimma, sapaan akrabnya.
Karena tuntutan pekerjaan, Mimma harus kembali bekerja dua minggu setelah persalinan. Ini membuat gejala baby blues yang dirasakannya tak tertangani dan menjadi-jadi.

Saat bayinya berusia sekitar tujuh bulan, Mimma didiagnosis mengidap depresi pascamelahirkan, PTSD, dan mild depressive episode. Dia harus mengonsumsi obat-obatan untuk mengontrol emosinya.
"Sempat merasa sepertinya saya tidak akan pernah sembuh, selamanya akan merasa seperti ini," tutur Mimma.
Kisah Nadia dan Mimma, juga 20 ibu lainnya, dituliskan dalam sebuah buku antologi memoar berjudul I'm Not a Bad Mom yang diterbitkan oleh MotherHope Indonesia.
Buku ini jadi salah satu upaya agar para ibu yang mengalami gejala depresi dapat mengembangkan help seeking behavior atau perilaku mencari pertolongan.
"Mengedukasi keluarga itu nomor satu. Kasih tahu mereka apa yang kita alami dan rasakan dengan jujur, kemudian cari bantuan profesional jika dibutuhkan," tukas Mimma.
Pentingnya intervensi dini
Di seluruh dunia, usaha berbasis komunitas untuk mengatasi masalah kesehatan mental ibu semakin banyak. Kerap kali, inisiatif seperti ini diprakarsai oleh mereka yang pernah mengalami kondisi depresi sendiri.
Dr Neerja Chowdhary, spesialis kesehatan mental WHO, mengatakan bahwa pengalaman hidup dari penyintas "meningkatkan kepercayaan dan keterhubungan", sehingga mereka menjadi "agen yang efektif" dalam memberikan dukungan kesehatan mental.
Dia menambahkan, kegiatan yang berbasis komunitas adalah intervensi dengan biaya murah yang dapat secara signifikan memperbaiki kesehatan mental ibu di negara-negara berkembang. Meski, dia menambahkan, pelatihan dan supervisi yang memadai "sangat penting".

Sumber gambar, OCD Trust
Sekitar 8.000km dari Indonesia, di Zimbabwe, Angie Mkorongo juga menginisiasi gerakan sendiri berdasarkan pengalamannya dengan masalah kesehatan mental.
Setelah kelahiran putrinya 27 tahun lalu, Angie mengaku kelelahan karena pikirannya dipenuhi pikiran-pikiraan mengganggu.
"Saya ingat kerap berpikir, 'Bagaimana kalau saya mengambil bantal dan membekap anak saya");