Mafia Berkeley, Ali Moertopo, hingga Opsus – Tiga hal yang perlu diketahui tentang Orde Baru dan sepak terjangnya

Sumber gambar, Getty Images/Bettmann
- Penulis, Heyder Affan
- Peranan, Wartawan BBC News Indonesia
Kekuasaan Orde Baru, yang runtuh 27 tahun silam, dibangun di atas dua doktrin: pembangunan ekonomi dan stabilitas politik. Pilihan ini membawa konsekuensi-konsekuensi yang dampaknya tidak benar-benar terhapus setelah Soeharto lengser. BBC News melihat ulang bagaimana Orde Baru mulai menjalankan doktrinnya.
Kelahiran Orde Baru yang dramatis pada 1966 menandai dimulainya pergeseran orientasi yang sangat luar biasa di berbagai bidang, terutama ekonomi dan politik.
Dibangun di atas kondisi ekonomi yang kacau peninggalan Soekarno, rezim baru ini sangat fokus pada pertumbuhan ekonomi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Soeharto dan para teknokrat pendukungnya kemudian beralih ke Barat—sebuah langkah yang sebelumnya dianggap najis oleh Soekarno.
Demi pembangunan ekonomi itu pula, rezim baru dengan percaya diri menyertakan doktrin kedua: stabilitas politik atau keamanan.
Dalam lima tahun kekuasaannya, mereka mengembangkan kebijakan yang bertujuan mengurangi gejolak politik.

Sumber gambar, AFP via Getty Images
Kemudian, ditempuhlah kebijakan depolitisasi, mulai dari partai-partai politik hingga kampus.
Apa yang terjadi menjelang dan saat Pemilu 1971 adalah buktinya, tatkala rezim otoriter birokratik menempuh segala cara demi tujuannya.
Seperti apa kebijakan ekonomi Orde Baru yang jelas-jelas bertolak belakang dengan yang ditempuh Soekarno?
Mengapa rezim Soeharto menganggap kelompok Islam politik dan sisa-sisa pendukung Soekarno harus 'digarap' sehingga tidak mempunyai taji lagi?
Sebagai penutup, kami mewawancarai seorang generasi ketiga keluarga tahanan politik (tapol) 1965 yang menulis buku semacam kamus Orde Baru.
Inilah liputannya.
Kebijakan ekonomi Orde Baru dan istilah 'mafia Berkeley'
Kelahiran Orde Baru memunculkan doktrin baru bernama pembangunan ekonomi dan stabilitas politik.
Langkah ini diambil lantaran rezim Orde Baru mencanangkan "ekonomi sebagai panglima" dan bukan lagi "politik sebagai panglima" seperti pada era Soekarno.
Konsekuensinya, rezim Soeharto yang disokong sejumlah ekonom lulusan Amerika Serikat (AS), kemudian menjamin stabilisasi politik demi pembangunan.
"Para pemimpin Angkatan Darat berpendapat bahwa pemerintah militer akan menjamin terpeliharanya kestabilan politik yang dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi," kata Harold Crouch dalam buku Militer dan Politik di Indonesia (1999).

Sumber gambar, Getty Images/Bettmann
Kekacauan ekonomi yang diwarisi Soeharto lalu memicu perumusan doktrin pembangunan dan modernisasi ekonomi.
Dukungan pun mengalir dari masyarakat yang ingin dianggap sejalan dengan Orde Baru.
Muncul kemudian semacam konsensus di antara pendukungnya, bahwa Indonesia memerlukan stabilitas, rehabilitasi dan pembangunan gaya kapitalis.
"Mengingat sifat koalisi tersebut, beratnya krisis ekonomi, dan kekecewaan mereka terhadap Sosialisme ala Indonesia versi Soekarno, maka strategi ekonomi yang menekankan perombakan struktur sosial ekonomi secara radikal dan mengabaikan peranan modal asing, tidak mungkin diterapkan," papar Mochtar Mas'oed dalam buku Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971 (1989).

Sumber gambar, Getty Images/Bettmann
Karena itulah, para intelektual di sekitar Soeharto menolak melibatkan diri jika pemerintah melanjutkan program-program Sukarno, seperti land reform atau perpajakan progresif. Mereka mewanti-wanti para pengusaha akan hengkang bila itu terjadi.
Dan tanpa dukungan para teknokrat itu, sambung Mas'oed, pimpinan AD tidak bisa berharap memecahkan masalah besar ekonomi yang diwarisi rezim sebelumnya.
Singkatnya, strategi ekonomi yang paling baik adalah strategi yang memungkinkan perusahaan swasta memainkan peranan aktif di dalam pasar bebas.
Sehingga, "memungkinkan pemanfaatan modal asing," tambah Mas'oed.
Kebijakan pokok ekonomi ini kemudian didukung oleh Ketetapan MPRS No.XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera. Kabinet ini diberi tugas menciptakan kestabilan politik dan ekonomi.

Sumber gambar, Sepia Times/Universal Images Group via Getty Images
Ketetapan ini kelak akan mewarnai kebijakan ekonomi dan politik Orba.
"Stabilitas politik sangat penting bagi keberhasilan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), yang pada gilirannya akan menjamin stabilitas politik lebih lanjut," kata pengamat politik Ken Ward, dalam buku NU, PNI dan Kekerasan 1971 (2024).
Di sinilah, para ekonom penasihat Presiden Soeharto kemudian merancang kebijakan ekonomi. Mereka dipimpin Widjojo Nitisastro, ekonom lulusan Universitas California, Berkeley, AS.
Kelak Widjojo dikenal sebagai arsitek ekonomi Orde Baru. Soeharto memercayainya menjadi menteri di bidang ekonomi setidaknya selama tiga periode pada awal pemerintahannya.

Sumber gambar, Wikimedia Commons
Dia pernah mengajar di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad). Di sanalah pemikiran-pemikirannya "membuat Soeharto terpukau," kata Dhianita Kusuma Pertiwi dalam buku Mengenal Orde Baru (2021).
Pada masanya pernah beredar istilah 'Widjojomics' yang merujuk pengaruhnya yang kuat seputar kebijakan ekonomi Orde Baru.
Adapun pihak yang berseberangan dengan pendekatan ekonominya menyebut Widjojo sebagai bagian dari 'mafia Berkeley'.
"Mafia Berkeley dikenal dengan kebijakan-kebijakan ekonominya yang dibaca beberapa pihak sebagai pendekatan liberal," ujar Dhianita.

Sumber gambar, KEMAL JUFRI/AFP via Getty Images
Bagaimanapun, lewat ide-ide ahli ekonomi itu, lahirlah konsep 'pembangunan'.
"Tekanannya pada pola atau model pembangunan negara-negara Barat," kata Fahcry Ali dan Bahtiar Effendy dalam buku Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia masa Orde Baru (1986).