Penulisan ulang sejarah Indonesia – Rawan dijadikan alat legitimasi, meminggirkan perempuan dan sejarah Papua

Sumber gambar, Rijksmuseum
Rencana pemerintah menulis ulang sejarah memicu kontroversi. Sejumlah sejarawan menganggap ini akan menjadi alat legitimasi dan menghilangkan peristiwa "sensitif" tentang perempuan dan sejarah Papua. Namun ketua tim penulisan buku menjamin tak ada intervensi.
Pemerintah Indonesia berencana menerbitkan 'buku babon' sejarah nasional pada Agustus kelak, sebagai 'kado' hari kemerdekaan RI ke-80.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon bilang buku ini adalah "revisi penambahan di buku sejarah" dan akan menjadi buku sejarah resmi Indonesia serta menjadi acuan buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah
Namun, penulisan ulang sejarah ini memicu polemik di kalangan sejarawan.
Arkeolog Truman Simanjuntak yang turut menyusun buku itu mengundurkan diri setelah menolak penggantian istilah "prasejarah" menjadi "sejarah awal" yang menurutnya, "menghapus istilah dan ilmu prasejarah dari nomenklatur keilmuan".
Sejarawan dari Papua, Albert Rumbekwan, menyayangkan hanya sedikit sejarah Papua ditampilkan. Padahal Papua punya sejarah panjang yang membentang paling sedikit sejak 500 tahun yang lalu.
Adapun, sejarawan dari Universitas Negeri Surabaya, Mohammad Refi Omar Ar Razy, menyebut penyusunan buku ini terkesan terburu-buru, sementara isinya "masih sangat Indonesia sentris", "sangat elite" dan tidak menyorot peran perempuan dalam sejarah Indonesia.
"Isinya tidak banyak memperbarui hal-hal yang fundamental dalam sisi historis," ujarnya kepada wartawan Hilman Handoni yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Namun begitu, Susanto Zuhdi yang menjadi ketua tim penulisan buku ini bilang buku sejarah ini akan "seobjektif" mungkin dan menjamin tak ada intervensi pemerintah.
'Pelurusan sejarah'
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan dua kali buku 'babon' semacam ini.
Buku Sejarah Nasional Indonesia—terdiri dari enam jilid—diterbitkan pada 1975.
Pada 2010-an, pemerintah juga mensponsori penyusunan dan penerbitan buku Indonesia dalam Arus Sejarah (IDAS), yang terdiri dari sembilan jilid dengan 4.500 halaman.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut paling tidak ada tiga aspek utama dalam pembaruan catatan sejarah yang akan diterbitkan Agustus nanti.
Antara lain, revisi atas narasi yang sudah ada, penambahan materi sejarah baru, serta pelurusan sejarah yang memerlukan klarifikasi berdasarkan hasil kajian.
Salah satu contoh bagian yang direvisi katanya adalah catatan soal zaman "prasejarah".

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Fauzan
"Ada temuan-temuan baru, misalnya penelitian terbaru dalam prasejarah kita seperti Gua Leang-Leang Maros yang tadinya usianya diduga 5.000 tahun, ternyata 40.000-52.000 tahun yang lalu usianya" kata Fadli seperti dikutip dari kantor berita Antara.
Pemerintah menanggung pendanaan proyek ini, seperti halnya penyusunan dua buku babon sejarah sebelumnya.
Kepala tim penyusun buku sejarah ini, Susanto Zuhdi, menyadari ada anggapan bahwa pemerintah saat ini punya kepentingan dalam penyusunan sejarah.
Bagaimanapun, kata dia, penyusunan sejarah resmi di negara mana pun mesti punya pertimbangan kepentingan.
Namun Susanto Zuhdi—yang pernah menjabat sebagai kepala direktorat sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2001—menyebut inisiatif memperbarui sejarah Indonesia kali ini tak sepenuhnya berasal dari pemerintah.

Sumber gambar, Maxime Aubert / PA WIRE
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Dia mengatakan para sejarawan telah lama menginginkan pembaruan historiografi nasional. Keinginan ini juga menjadi amanat Kongres Sejarah pada 2001.
"[Ini] kepentingan dari bawah maupun dari atas. Kelihatannya Pak Prabowo secara prinsip, secara pribadi, saya lihat suka sejarah. Bahkan jauh sebelum dia jadi presiden. Jadi ya memang kepentingan bersama," jelas Susanto.
Susanto kemudian mengatakan bahwa pada akhir tahun lalu dirinya diminta untuk memimpin proyek ini, yang diakuinya "waktunya mepet".
"Tapi saya bilang kita harus punya tekad. Nekat jadi tekad," selorohnya.
Dia bilang buku ini nantinya akan memiliki 10 jilid, masing-masing terdiri dari 500 halaman, yang membentang mulai masa prasejarah Indonesia hingga masa pemerintahan Joko Widodo.
Ada 120 sejarawan yang ikut dalam proyek ini, termasuk mahasiswa pascasarjana dari luar negeri dan sejarawan dari universitas-universitas di berbagai daerah. Mulai dari Universitas Syiah Kuala di Aceh hingga Universitas Cenderawasih di Papua.
"Pemerataan juga harus menjadi pertimbangan. Itulah Indonesia."
Sejarawan publik—yang bekerja di luar lingkungan akademik, seperti museum, situs sejarah, atau media—juga dilibatkan dalam penulisan ulang sejarah kali ini untuk membuat sejarah lebih mudah diakses dan relevan bagi masyarakat umum.
Lebih lanjut, Susanto menegaskan tidak ada "arahan" atau pesanan apa pun dalam penyusunan buku ini.
"Enggak ada arahan itu, adanya arahan 'Reinventing Indonesian Identity'," tegasnya.
Menurutnya, penulisan ulang sejarah ini demi "mencari identitas bangsa".
"[Indonesia] ini bangsa yang besar. Bangsa yang punya sejarah yang luar biasa."
Susanto mengatakan pemerintah tidak ikut campur dalam perubahan substansi yang terjadi di dalam buku.
Apa saja sejarah yang direvisi?
"Kita tidak lagi menyebut 'Zaman Hindu-Buddha' atau 'Zaman Islam'," kata Susanto.
Sebagai gantinya, para sejarawan yang menulis dalam buku tersebut menggunakan istilah "Indonesia dalam Jaringan Global" atau "Indonesia dalam Jaringan Timur Tengah"
Penggunaan istilah-istilah ini, menurut Susanto, demi menenekankan peran aktif Indonesia dalam berbagai peristiwa dan memperkuat pandangan tentang Indonesia.
Namun begitu, ada perubahan istilah dalam buku itu yang memicu kontroversi.
Arkeolog Truman Simanjuntak menolak penggantian istilah "prasejarah" yang merujuk pada era ketika aksara belum ditemukan, menjadi "awal sejarah".
Dia akhirnya mundur dari tim penulis buku sejarah baru ini.

Sumber gambar, Getty Images
Dalam surat pengunduran diri yang diunggah di situs Pusat Studi Prasejarah dan Austronesia, Truman—yang menerima penghargaan dari LIPI dan penerima penghargaan Satyalancana Karya Satya—mengatakan, "menggantikan 'prasejarah' dengan 'Sejarah Awal' sama dengan menghapuskan istilah dan ilmu prasejarah dari nomenklatur keilmuan."
Dia pula mengatakan bahwa keputusan tersebut "betul-betul aneh, hanya dan baru kali ini terjadi di Indonesia."
Meski begitu, Susanto Zuhdi bergeming. Menurutnya, definisi sejarah secara konvensional adalah saat manusia mengenal aksara. Sebelum itu, tidak disebut sebagai sejarah.
"Padahal sumber sejarah kan tidak cuma yang tertulis. Memang artefak bukan sumber sejarah? Lukisan di dinding memang bukan sumber sejarah");