‘Tiga hari minum air hujan’ – Banjir bandang melanda Halmahera Tengah, murni akibat cuaca atau aktivitas pertambangan nikel?

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Andri Saputra
Banjir besar yang menerjang sejumlah desa di Halmahera Tengah, Maluku Utara, sejak akhir pekan lalu menyebabkan ribuan warga mengungsi. Walau cuaca ekstrem diklaim pemerintah sebagai faktor utama, pegiat tambang dan lingkungan mengatakan insiden ini tidak lepas dari aktivitas pertambangan nikel di wilayah tersebut.
Sejumlah desa yang berlokasi di sekitar pertambangan nikel – tepatnya di Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara – terdampak apa yang diklaim para aktivis sebagai “banjir terbesar” di wilayah tersebut.
Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara, banjir merendam empat desa yakni Desa Woejerana, Desa Woekob, Desa Lelilef Waibulen, dan Desa Lukolamo sejak Sabtu (20/07).
Sedikitnya 6.567 penduduk dan ribuan pekerja tambang yang tersebar di empat desa tersebut terdampak banjir, menurut Walhi Maluku Utara.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Halmahera Tengah per Rabu (24/07) mengatakan ada total 1.726 orang pengungsi yang terimbas banjir dan tersebar di beberapa posko darurat.
Ketinggian air di beberapa tempat dilaporkan mencapai lebih dari satu meter. Walhi Maluku Utara menyebut banjir juga memutuskan akses utama jalan penghubung antar desa.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan penyebab banjir adalah intensitas hujan yang tinggi sejak Sabtu (20/7). Sementara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut cuaca ekstrim sebagai penyebab bencana – terutama diduga pengaruh dua siklon tropis, Gaemi dan Prapiroon.
Akan tetapi, para pegiat lingkungan mengeklaim banjir terjadi karena perusahaan-perusahaan pengolahan nikel yang berada di kawasan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), terus membuka lahan untuk tambang nikel, sehingga menyebabkan fungsi alami hutan hilang.
Berdasarkan catatan Walhi Maluku Utara, sudah terjadi 16 kali banjir di wilayah tersebut sejak 2019. Sementara Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) – organisasi non-pemerintah yang mengadvokasi persoalan tambang di Indonesia – mencatat ada 12 kali banjir besar – dengan ketinggian air mencapai 1 meter – yang merendam desa-desa di sekitar kawasan industri nikel di Weda Bay, sejak 2020.
LSM Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menyebut eksploitasi nikel di Halmahera Tengah terjadi sejak tahun 2019-2020. Sebelum marak kegiatan tambang, banjir memang beberapa kali terjadi tetapi tidak sampai berhari-hari seperti saat ini.