Pengakuan anak-anak 'algojo' pembantaian 1965-1966 di Bali – ‘Bapak membunuh pentolan komunis, tapi adiknya dibantai karena dukung PKI’

G30S, PKI, Tragedi 1965-1966

Sumber gambar, BBC/Andro Saini

  • Penulis, Heyder Affan
  • Peranan, Wartawan BBC News Indonesia

Diperkirakan 80.000 orang yang dicap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dibantai di Bali pada akhir 1965 hingga awal 1966. Operasi ini dikendalikan Angkatan Darat, kata sejarawan. Mereka melibatkan milisi sipil untuk menjagal. BBC News Indonesia bertemu dua orang yang ayahnya dulu dijuluki 'algojo' di Jembrana serta seorang saksi pembantaian sadis di Desa Kapal, Badung.

“Bapak saya minum darah pimpinan PKI setelah membantainya.”

Ida Bagus Ketut Sulinggih mengungkap sepak terjang ayahnya ketika orang-orang yang dicap PKI di Bali dibantai pada 1965-1966.

“Bapak sudah bersumpah untuk meminum darahnya,” katanya dalam wawancara di rumahnya di Desa Batu Agung, Jembrana, Bali, Rabu, 4 September 2024.

Tindakan itu dilakukannya agar dia tetap 'kuat' dan 'bersemangat'.

Sebelum kudeta yang gagal di Jakarta pada 1 Oktober 1965, ayahnya sudah bersitegang dengan pentolan partai berlambang palu arit di Kota Singaraja, Bali, itu.

“Bapak sudah diancam beberapa kali oleh dia,” ujarnya.

Bahkan, sambungnya, orang tersebut memimpin massa pro-PKI untuk mengeroyok bapaknya. Ini terjadi sebelum pecah G30S pada 1 Oktober 1965.

Tameng, Bali, milisi PNI, pembantaian massal 1965-1966, algojo 1965. tukang jagal, Ida bagus Ketut Sulinggih, Ida Kade Sabah

Sumber gambar, Arsip keluarga

Keterangan gambar, Ida Kade Sabah (tengah, berkaos biru pucat) diabadikan pada 1990-an pada sebuah acara keagamaan. Pada 1965-1966, dia anggota tameng PNI yang bertugas membantai orang-orang yang dituduh PKI.

Nama bapaknya: Ida Kade Sabah, anggota kelompok milisi bersenjata atau tameng Partai Nasional Indonesia (PNI). Sulinggih menggambarkan sosok bapaknya berperawakan tinggi besar.

Kelompok tameng ini berperan besar dalam pembantaian orang-orang yang dituding PKI di Bali.

Diyakini 80.000 orang tewas dalam operasi pembasmian di pulau itu sejak Desember 1965 hingga awal 1966.

Keterangan video, G30S: Pembantaian massal 1965-1966 dan kuburan-kuburan tanpa nama di Bali

Sulinggih, kelahiran 1978, mewarisi cerita lisan langsung dari ayahnya. Sang bapak mengisahkannya secara berulang-ulang sejak dia masih ingusan.

“Saya masih kecil, setiap bapak saya cerita ke orang lain, saya selalu duduk di pangkuannya,” kata Sulinggih.

Tameng, Bali, milisi PNI, pembantaian massal 1965-1966, algojo 1965. tukang jagal

Sumber gambar, Perpustakaan Nasional/Musim Menjagal

Keterangan gambar, Sekelompok milisi tameng PNI, kira-kira akhir 1966. Milisi tameng mengenakan baju hitam dan lencana dengan bintang bersudut lima.

Dia lalu teringat Sabah terlibat aksi pembantaian terhadap sejumlah pimpinan PKI di Singaraja, Bali, setelah pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) tiba di sana.

“Bapak terlibat penumpasan PKI bersama RPKAD,” kata Sulinggih.

Dia berulang kali mengatakan bahwa ayahnya terlibat di dalamnya karena ditugaskan pemerintah melalui kehadiran pasukan militer itu.

Tameng, Bali, milisi PNI, pembantaian massal 1965-1966, algojo 1965. tukang jagal

Sumber gambar, Perpustakaan Nasional/Musim Menjagal

Keterangan gambar, Anggota kelompok milisi antikomunis Pemuda Marhaen memegang golok di Bali, sekitar 1965.

Pasukan elite Angkatan Darat itu, seperti diketahui, tiba pada pekan kedua Desember 1965.

Walaupun kehadiran RPKAD diklaim untuk menghentikan pembantaian, tapi bukti-bukti menunjukkan sebaliknya.

Kehadiran RPKAD justru melonjakkan aksi pembantaian, kata sejarawan.

Tameng, Bali, milisi PNI, pembantaian massal 1965-1966, algojo 1965. tukang jagal, Ida bagus Ketut Sulinggih, Ida Kade Sabah

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Heyder Affan

Keterangan gambar, Ida Ketut Sulinggih (foto atas) mengaku ayahnya mengalami trauma setelah terlibat dalam pembantaian 1965-1966 di Bali. "Bapak saya mendapat tugas dari pemerintah, dalam hal ini RPKAD," aku Sulinggih.

Apa senjata yang digunakan ayah Anda? Tanya saya.

“Hanya pedang,” akunya. Dia juga dibekali senjata api oleh perusahaan perkebunan negara, tapi jarang dipakai.

Di Singaraja, Sabah menjadi semacam koordinator keamanan di lokasi perkebunan milik pemerintah. Lokasinya tak jauh dari Teluk Terima di Kabupaten Buleleng, Bali.

Ketika bertugas di sanalah, sebelum kudeta yang gagal di Jakarta pada 1 Oktober 1965, Sabah acap berkonflik dengan para simpatisan PKI terkait kebijakan land reform.

Baca juga:

RPKAD, Sarwo Edhie Prabowo, pembantaian 1965-1966, Bali, algojo, tukang jagal

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Komandan RPKAD Sarwo Edhie Wibowo (1925-1989), 1 Januari 1966. Sejumlah sejarawan menemukan bukti bahwa pengiriman pasukan RPKAD ke Bali pada awal Desember 1965 justru mendongkrak pembantaian.

Dalam operasi pembasmian PKI di sebagian wilayah Singaraja, Sabah ditugaskan membakar rumah-rumah simpatisan PKI pada malam-malam hari.

Sebelumnya rumah-rumah itu sudah diberi ‘tanda’ agar dibakar. Di sinilah, menurut Sulinggih, bapaknya dihadapkan dilema.

“Karena semua penduduk di sana dikenal bapak. Mereka tidak ada yang salah,” kata Sulinggih menirukan apa yang diutarakan bapaknya.

Namun di sisi lain dia tak bisa menolak instruksi Angkatan Darat untuk melaksanakan penumpasan orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI.

Akhirnya, sang bapak menggedor rumah orang-orang dari belakang, agar mereka dapat kabur melalui pintu depan.

Tameng, Bali, milisi PNI, pembantaian massal 1965-1966, algojo 1965. tukang jagal, Ida bagus Ketut Sulinggih, Ida Kade Sabah

Sumber gambar, Ida Kade Juli Restu

Keterangan gambar, Pembongkaran kuburan massal korban pembantaian 1965 di Dusun Masean, Desa Batuagung, Jembrana, Bali, 29 Oktober 2015. Adik Ida Kade Sabah juga menjadi korban dan jasadnya dikubur di sana.

“Sehingga bapak tidak sampai menangkapnya,” ungkapnya.

Pada momen lainnya, warga yang dicap sebagai anggota PKI mendatangi ayahnya dan meminta pertolongan agar mereka jangan dibantai.

“Tapi bapak tidak bisa beri bantuan secara maksimal,” ungkap Sulinggih.

Bapak hanya menyarankan mereka untuk melarikan diri ke hutan atau membuat lubang-lubang perlindungan.

Menurut Sulinggih, ada dua peristiwa kekerasan lainnya yang amat membekas dan membuat ayahnya trauma.

Angkatan Darat, tentara, 1965, Indonesia

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Pasukan Angkatan Darat di sebuah acara, 17 Januari 1966. Akong menyatakan, ayahnya menjalankan tugas yang diinstruksikan oleh RPKPAD selama pembantaian 1965-1966 di Bali.

Pertama, suatu saat, bapaknya menolak instruksi seorang pimpinan RPKAD untuk mengeksekusi orang-orang yang dicap sebagai simpatisan PKI. Lokasinya di sebuah tanah lapang di wilayah Singaraja.

Orang-orang itu sudah dibariskan dengan tangan terikat. Sulinggih lantas menirukan percakapan antara bapaknya dengan sang komandan RPKAD.

“Gus [panggilan bapaknya], tolong kamu bunuh orang-orang ini!“

“Maaf pak, saya tidak bisa.“

Menurut Sulinggih, ayahnya beralasan: Tiap hari selalu bertemu orang-orang itu. Mereka adalah temannya mengobrol dan minum kopi.

Baca juga:

antikomunis, PKI, komunis, Gunung Merapi, Jawa Tengah, Partai komunis Indonesia

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Membawa bambu runcing dan senjata tajam, sekelompok orang tampak siap bertarung. Para pemuda ini tengah mengiringi pasukan Angkatan Darat di sekitar Gunung Merapi, Jawa Tengah, untuk mencari pemimpin PKI, D. A. Aidit, dan pengikutnya, 17 November 1965.

“Saya tidak mungkin membunuh orang yang saya kenal dan mereka tidak bersalah," kata Sulinggih menirukan ucapan ayahnya.

Orang-orang itu akhirnya tewas ditembak, tapi bukan di tangan ayahnya.

Setelahnya, “bapak saya nangis melihat banjir darah di sana.”

Peristiwa lainnya yang membuat ayahnya trauma adalah saat membunuh seorang pimpinan PKI yang juga pemangku atau rohaniawan Hindu.

Tameng, kuburan massal 1965, Desa Tegalbadeng, Bali, PKI, Partai Komunis Indonesia, pembantaian massal 1965.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Heyder Affan

Keterangan gambar, Di wilayah Jembrana, Bali, saat pembunuhan massal 1965-1966, sumur-sumur milik warga sering dijadikan lokasi pembuangan mayat orang-orang komunis. Di sudut Desa Tegalbadeng, seorang saksi mata (tengah) menunjukkan kami bekas sumur yang sudah diuruk tanah.

Konon, ketika hendak dibunuh, sejumlah anggota tameng PNI dan Ansor tak ada yang mampu melakukannya. Dia sedang bermeditasi.

Sabah lantas turun tangan. Dia hanya menyentuh pundak korban dengan pedangnya, sang pemangku akhirnya meninggal dunia. Bapaknya meyakini sang pemangku ingin mati di tangannya.

“Di sinilah, ayah saya kemudian meminta maaf,” ungkap Sulinggih.

Baca juga:

PKI, Partai Komunis Indonesia, 1965, Indonesia, pembantaian orang-orang komunis

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Seseorang yang dituduh simpatisan PKI ditangkap di Pulau Jawa oleh aparat militer, setelah 1 Oktober 1965.

Setelah gejolak politik berakhir, Sabah dihantam trauma berkepanjangan. Sabah sempat menjauhi aktivitas bermasyarakat dengan menyepi di hutan. Dia meninggal pada 1998.

Sulinggih kurang setuju apabila ayahnya disebut sebagai algojo atau tukang jagal.

Dia dapat memahami jika ayahnya disebut sebagai anggota tameng. Dan dia mengaku sebutan itu tak membuatnya terbebani.

Menurutnya, ayahnya dipaksa untuk menjalankan instruksi Angkatan Darat untuk membasmi PKI sampai ke akar-akarnya.

Situasi dan kondisi saat itulah yang disebutnya membuat sang bapak menjalankan peran seperti itu.

PKI, Partai Komunis Indonesia, 1965, Indonesia, pembantaian orang-orang komunis

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Sejumlah anggota militer Indonesia menangkap dan membawa belasan pemuda yang diduga menjadi anggota PKI di Jakarta, 10 Oktober 1965.

Lagipula, sambungnya, situasinya tidak sehitam-putih seperti yang dibayangkan.

Sulinggih lantas bercerita bahwa adik bapaknya dibantai oleh tameng lantaran menjadi simpatisan PKI di Desa Batu Agung, Jembrana.

Mengetahui adiknya dibantai, Sabah sempat marah.

Sabah sempat mencari siapa aktor di belakang terbunuhnya sang adik. Dia memang berhasil membekuk tukang jagalnya.

Di hadapan Sabah, sang algojo meminta maaf berulang kali, seraya memberikan jawaban: "Saya cuma menjalankan perintah."

Sabah kemudian membatalkan rencananya untuk menembak sang pelaku pembantai adiknya.

'Bapak saya korban, dia dibunuh kalau menolak perintah tentara'
PKI, Tameng, Ansor, Bali, Jembrana, pembunuhan massal 1965-1966, RPKAD

Sumber gambar, BBC News Indonesia/ Heyder Affan

Keterangan gambar, Nur Hariri alias Akong (foto atas) berujar ayahnya menjalankan tugas negara pada 1965-1966. "Jika bapak saya menolak tugas [sebagai eksekutor], dia bisa 'didor'," ujarnya.

Tukang jagal tersohor saat pembasmian PKI pada 1965-1966 di Jembrana, Bali, bernama Nawawi.

Menurut anak Nawawi, bapaknya mengaku telah membantai setidaknya 100 orang yang dicap PKI di Kota Negara dan sekitarnya.

Namun sang anak mengatakan julukan algojo yang disematkan kepada bapaknya tidaklah tepat.

“Itu kan orang lain yang memberi julukan tukang jagal,“ kata salah seorang anak Nawawi, Nur Hariri alias Akong.

“Sebetulnya bapak saya itu memang takut membunuh,” klaimnya.

Tapi, sambungnya, ketika negara dalam keadaan gawat, bapaknya ‘dipaksa’ untuk bertindak untuk membunuh orang-orang yang dicap anggota PKI.

“Boleh dikata bapak saya itu ditodong senjata untuk laksanakan eksekusi,” klaim pria kelahiran 1962 ini.

PKI, partrai komunis Indonesia, angkatan darat, tentara, pembantaian 1965

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Seorang anggota militer Indonesia mengawasi beberapa orang yang dicurigai sebagai anggota atau simpatisan PKI di Tangerang, usai 1 Oktober 1965

“Kalau tidak [mau melaksanakan], tak ‘dor’ kamu,” kata Hariri menirukan pengakuan langsung dari bapaknya.

Hariri menjadi tahu sepak terjangnya pada bulan-bulan penuh gejolak itu lantaran berulang kali diceritakan.

Kami mewawancarai Nur Hariri di rumahnya di Desa Loloan Timur, Kamis, 5 September 2024 lalu.

Dia mengenakan kopiah putih, kemeja putih dan bersarung. Rokok terus mengepul selama wawancara.

Desa Loloan Timur merupakan kawasan yang dihuni mayoritas Muslim. Sebagian besar penghuninya berasal dari Sulawesi Selatan, Madura hingga Jawa.

Sebagian besar mereka sudah puluhan tahun beranakpinak di sana. Di sanalah para pegiat Ansor melakukan rapat-rapat untuk mengganyang simpatisan dan anggota PKI pada tahun-tahun gelap itu.

Baca juga:

PKI, partrai komunis Indonesia, angkatan darat, tentara, pembantaian 1965, tahanan 1965

Sumber gambar, Buku 'Penghancuran PKI' (Olle Tornquist, 2017)

Keterangan gambar, Orang-orang yang dituduh komunis dimasukkan ke liang sebelum dieksekusi, sekitar 1965-1966. (Tanpa keterangan tempat).

Nawawi, kata Hariri, memiliki pedang panjang dan pegangannya terbuat dari tanduk kerbau.

Hariri melebarkan lengannya untuk menggambarkan kira-kira berapa panjangnya.

“Satu kali [tebasan], putus [leher korban],” kata Hariri terbahak.

Setiap menghabisi korban, menurut Hariri, bapaknya menjilat darah korban.

Baca juga:

“Supaya tidak panas, supaya tidak inget-ingetan.”

Di mana saja bapak Anda saat itu beroperasi melakukan pembantaian? Tanya saya.

Hariri menjawab: “Di sini [Loloan Barat] dibabat dulu. Kemudian pindah-pindah.“

Mayat-mayat korban kemudian dikubur di sumur-sumur milik warga di Desa Tegalbadeng, ujarnya.

1965, unjuk rasa mahasiswa, kedutaan besar AS di Indonesia, duta besar AS

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Sekelompok mahasiswi berunjukrasa meneriakkan slogan anti imperialisme Amerika Serikat. Mereka membakar patung Dubes AS, Howard P. Jones dan Perdana Menterui Malaysia Tunku Abdul Rahman. Aksi digelar 19 Agustus 1964.

Hariri mengaku tak begitu tahu persis apakah bapaknya dulu aktif di Ansor atau kelompok milisi PNI alias tameng.

Reputasi bapaknya sebagai algojo sudah dikenal seantero Kota Negara. Sehingga, sebagian tetangganya yang rumahnya dijarah meminta perlindungannya.

“Bapak saya ditakuti di sini,” akunya.

Di masa Orde Baru, reputasinya itu berlanjut. Dia beberapa terlibat sebagai barisan pembela Partai Golkar. “Makanya banyak pejabat dekat dengan bapak saya.”

Seingat Hariri, bapaknya tidak pernah menyesali apa yang diperbuatnya selama masa pembantaian orang-orang PKI pada 1965-1966.

Bukankah tindakan bapak Anda itu keji, membunuh orang-orang yang belum tentu bersalah? Tanya saya.

PKI, Partai Komunis Indonesia, 1965, Indonesia, pembantaian orang-orang komunis

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Kantor pusat PKI di Jakarta, pada 8 Oktober 1965, hancur lebur oleh amukan massa, menyusul peristiwa G30S.

“Karena tidak mengenal pengadilan [waktu itu]. Belum tahu tentang hukum. Ya, biasa saja,“ Akong lagi-lagi menutup kalimatnya dengan tergelak.

Namun dia cepat-cepat menambahkan. Kalau bapaknya tidak melaksanakan pembunuhan, nyawanya akan terancam.

“Itulah yang terjadi pada 1965,“ kata Hariri, menekankan.

Kini, setelah 59 tahun kemudian, Hariri menganggap semua itu sudah menjadi masa lalu. Sudah berjarak, begitulah.

Lagipula, para algojonya sudah banyak yang meninggal. Sangat mungkin para keturunannya tidak memahami secara persis apa yang terjadi saat itu, akunya.

“Sehingga tidak ada lagi dendam.”

PKI, Partai Komunis Indonesia, 1965, HUT PKI 1965

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Suasana perayaan ulang tahun PKI ke 45 di Jakarta, 7 Mei 1965, lima bulan sebelum G30S.

Tentu saja situasi ‘tidak ada dendam’ itu mesti terus dipelihara, katanya.

“Caranya, ya, membangun kepercayaan. Yang dulu [kejadian kekerasan], ya dululah. Ke depannya kita berpikir yang baru. Jangan mengorek-ngorek lagi masa lalu,” ujar Hariri. Dia lalu menyebutkan istilah silaturahmi.

Dia lalu bercerita ada satu kejadian ketika anak korban yang dulu dibunuh bapaknya, mengungkitnya kembali.

“Saya tidak tahu. Saya masih kecil,” akunya saat yang bersangkutan mengungkit masalah itu kepadanya.

Percakapan itu kemudian tak berlanjut. Barangkali yang bersangkutan menyadari hal itu tak pantas dibicarakan di hadapannya. Mungkin juga lantaran mereka sudah sama-sama beranjak tua.

PKI, Partai Komunis Indonesia, 1965, Indonesia, pembantaian orang-orang komunis

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Kerumunan orang-orang membakar tumpukan kertas dan dokumen lain terkait PKI di sebuah lokasi di Jakarta, 10 Desember 1965.

Namun di sisi lain, sambungnya, yang bersangkutan sampai sekarang bersahabat dengan adik bapaknya.

Hariri kembali menekankan bahwa ayahnya termasuk korban. Sang bapak dipaksa Angkatan Darat untuk menjalankan operasi ‘pembasmian PKI sampai ke akar-akarnya’.

“Kami keberatan kalau korban hanya di pihak sana. Kita juga korban penekanan [aparat militer]. Kita sama-sama korban.

“Kalau bapak saya tidak melaksanakan perintah itu, kami tidak punya orang tua lagi,” Nur Hariri lagi-lagi tergelak.

Jadi, Anda menyebut kekerasan 1965 itu tanggung jawab negara dan bukan tanggungjawab pribadi? Kami bertanya.

“Negara terlibat! Senjata api [yang diberikan kepada milisi antikomunis] itu dari mana?” katanya lantang.

“Kalau bapak saya tak laksanakan [pembantaian], di’dor’ dia,” tandasnya.

Kisah saksi mata yang dipaksa menyaksikan tindakan ‘sangat biadab’ di Desa Kapal
Desa Kapal, Tabanan, Bali, pembantaian 1965-1966 di Bali, I Gde Puger, PKI, CBD Bali, I Wayan Beratha Yasa, Beratha, Banjar Langon, Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Heyder Affan

Keterangan gambar, “Perkiraan saya di sini kuburan PKI [yang dieksekusi di Desa Kapal, Kabupaten Badung, Bali] sebelah pohon,” kata I Wayan Beratha. Dia mengaku diberitahu seorang saksi mata kejadian itu.
Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca
Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Usianya sekarang sudah sudah 81 tahun dan rambutnya sudah memutih. Tetapi, I Wayan Beratha Yasa, warga Desa Kapal, Kabupaten Badung, Bali, tidak bisa melupakan peristiwa biadab yang dia saksikan 59 tahun silam.

Beratha mengaku dia (saat itu usianya 21 tahun), ayahnya, serta sebagian warga di Desa Kapal dipaksa menyaksikan sebuah pembantaian keji.

“Saya dan ayah saya, serta banyak orang [di Desa Kapal, Badung, Bali] wajib mengikuti kejadian yang sangat biadab itu,” ungkap Berath—panggilannya—kepada saya dan videografer Oki Budhi di rumahnya, Selasa, 3 September 2024.

Lokasinya tak jauh dari Banjar Gadon, Desa Kapal, Kabupaten Badung, Bali.

Kejadiannya kira-kira pekan kedua atau ketiga Desember 1965, tidak lama setelah pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) tiba di pulau itu.

Tugas pasukan elit Angkatan Darat ini, seperti diketahui, menghabisi orang-orang yang dicap simpatisan atau anggota PKI ‘sampai ke akar-akarnya’ di Bali.

I Gde Puger, Desa Kapal, Kabupaten Badung, Bali, pembantaian massal 1965-1966 di Bali, PKI, partai komunis indonesia

Sumber gambar, Institut Sejarah Sosial Indonesia/Riwayat Terkubur

Keterangan gambar, I Gde Puger dan istrinya, Ida Ayu Rai Parmini, di Denpasar, Bali, sekitar 1960. Puger dan sejumlah pimpinan PKI di Bali dibantai di Desa Kapal, Badung, Bali.

Dan di hari naas itu, pasukan Angkatan Darat itu memerintahkan seorang tahanan yang dicap PKI untuk membunuh rekannya sesama terduga simpatisan partai tersebut.

“Bukan saja tentara yang ditugasi [membantai], tapi warga sendiri yang [dipaksa] melakukan,” ujarnya.

Baca juga:

Ingatan Beratha masih tajam. Dia ingat nama orang yang dipaksa membunuh temannya sendiri.

“Tetangga dari Banjar Muncan [Desa Kapal], pekerja bengkel, namanya Nyoman Darna,” kata Beratha, seperti dia cuplik dari buku otobiografinya Perjalanan Hidup Pelukis dan Jurnalis (2021).

Beratha juga ingat nama korbannya: Ida Bagus Gede dari Banjar Gadon, Desa Kapal.

“[Darna] harus berani membunuh temannya sendiri bernama Ida Bagus Gede,” ungkapnya.

Jika Darna menolak perintah itu, maka dia yang akan dibantai oleh tentara Angkatan Darat, katanya.

Tank, Jakarta pusat, perumahan pegawai Hotel Indonesia, 2 Oktober 1965, kudeta, PKI, partai komunis indonesia, i gde puger, Bali

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Suasana di sudut pusat Jakarta, 2 Oktober 1965, sehari setelah upaya kudeta yang gagal. Dua bulan kemudian, tepatnya setelah pasukan RPKAD tiba di Bali, pembantaian orang-orang yang dicap PKI, mulai marak.

Dan seperti diakui Beratha, aksi biadab ini “wajib” disaksikan oleh sebagian warga yang berada di lokasi. Dan pemuda 21 tahun bernama Beratha dan ayahnya serta sejumlah warga tak bisa menolak perintah itu.

“Saya sendiri menyaksikan betapa kejamnya pembunuhan itu,” ungkapnya.

Akhirnya, Darna menuruti perintah sang komandan.

Darna tidak menggunakan pedang atau pistol untuk membantai sang kawan. Tapi, “sebuah batu besar,” kata Beratha.

Dia ingat detil-detil kekejaman itu.

“Dengan sebuah batu besar, Ida Bagus dipukul kepalanya dari belakang. Korban jatuh ke got. Lalu dengan sebatang kayu korban dipukul beberapa kali. Akhirnya korban meninggal,” tulis Beratha dalam otobiografinya itu.

Dalam wawancara kepada kami, Beratha berulangkali menyebut tragedi 1965 di desanya “sangat ngeri dan keji” dan “tak punya hati nurani”.

Desa Kapal, Tabanan, Bali, pembantaian 1965-1966 di Bali, I Gde Puger, PKI, CBD Bali, I Wayan Beratha Yasa, Beratha, Banjar Langon, Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Heyder Affan

Keterangan gambar, “Saya dan ayah saya, serta banyak orang [di Desa Kapal, Tabanan, Bali] wajib mengikuti kejadian yang sangat biadab itu,” ungkap Beratha —panggilannya—kepada saya dan videografer Oki Budhi di rumahnya, Selasa, 3 September 2024.

Dan, usai pembantaian itu, Nyoman Darna akhirnya selamat. Dia meninggal karena sakit dan usia tua.

Sebelum tutup usia, Darna mengaku kepada Beratha bahwa dia sangat takut membunuh temannya sendiri.

“Karena terpaksa dan dipaksa, yah… dengan rasa berat hati dia lakukan perintah itu,” ungkap Beratha.

Kami bertemu Beratha di rumahnya di Banjar Langon, Desa Kapal. Desa itu kira-kira berjarak 15km dari Kota Denpasar.

Kami sengaja menemui pelukis ini setelah diberitahu bahwa dia adalah saksi mata pembantaian yang terjadi di Desa Kapal.

Salah-satu pertanyaan yang kami siapkan adalah apakah Beratha mengetahui peristiwa pembantaian sejumlah pimpinan PKI Bali—berasal dari Denpasar—di sebuah lokasi di Desa Kapal.

PKI, partai komunis indonesia, Universitas Res Publika, 15 Oktober 1965

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Seorang mahasiswa keturunan China melindungi mukanya saat dicemooh dan diserang secara fisik oleh sejumlah pemuda yang menyerang Universitas Res Publika, pada 15 Oktober 1965.

Salah-satunya adalah sosok I Gde Puger, pengusaha terkenal dan dikenal sebagai donatur PKI di Bali, serta salah-seorang kepercayaan Presiden Sukarno. Tapi dia bukanlah pimpinan atau anggota PKI.

Beratha, tentu saja, mengetahui I Gde Puger dan latar belakangnya. Dia menyebutnya sebagai “tokoh” dan “orang kaya” di Bali pada tahun 1950 dan 1960-an.

Namun ketika saya bertanya apakah dia tahu peristiwa pembantaian I Gde Puger dan pimpinan PKI Bali di Desa Kapal, Beratha mengaku tidak mengetahuinya. Dia agak kaget ketika saya menyebut nama itu.

Dia mengaku hanya mendengar bahwa Puger “dibunuh” atau “hilang”, tapi mengaku “tidak tahu” di mana dia dibantai.

Dalam otobiografinya, Beratha juga tidak menyebut pembantaian puluhan pimpinan PKI Bali di Desa Kapal.

Bali, 1966, Tampak Siring

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Sudut di Desa Tampak Siring, Bali, 15 Juni 1966. Enam atau tujuh bulan sebelumnya, orang-orang yang dicap PKI dibantai di pulau itu.

Dia hanya menulis: “Ketika itu setiap malam sekitar pukul 12.00 sering terdengar tembakan senjata mesin bersumber dari kuburan Desa Kapal.”

Namun Beratha mendapat informasi bahwa yang dibunuh di kuburan Desa Kapal adalah anggota PKI yang berasal dari luar Desa Kapal.

Sedangkan anggota PKI asal Desa Kapal, demikian Beratha dalam biografinya, “ditembak di kuburan di luar Desa Kapal”.

Walaupun tak menyebut sosok Puger, pernyataan Beratha ini sesuai dengan hasil riset sejarawan I Ketut Ardhana dan AA Bagus Wirawan.

Dalam buku Malam Bencana 1965 dalam belitan krisis nasional (2012), I Ketut Ardhana dan AA Bagus Wirawan menulis bahwa pada 18 Desember 1965 di Desa Kapal terjadi penahanan terhadap 28 orang yang terindikasi menjadi simpatisan PKI. Dan pada malam harinya, mereka di bantai di sana.

PKI, partai komunis indonesia, pemuda rakyat, jakarta, kantor pemuda rakyat

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Pada 13 Oktober 1965, sekelompok mahasiswa membakar markas Pemuda Rakyat —yang berafiliasi ke PKI—di Jakarta, menyusul Peristiwa G30S.

“Puger misalnya diberitakan telah dibunuh secara mengerikan, tangannya dipotong-potong di [Desa] Kapal,” ungkap mereka.

Banyak korban berjatuhan pada saat itu, tulis mereka, karena alasan sentimen pribadi dan persaingan bisnis saja.

Persaingan bisnis ini, misalnya, terjadi antara Puger dan seorang pengusaha lainnya.

“Di Bali banyak korban mati berjatuhan ditangkap karena sentimen-sentimen seperti itu, misalnya, sentimen soal relasi kerja, soal warisan, soal jabatan dan sebagainya,” jelas I Ketut Ardhana dan AA Bagus Wirawan.

Penjelasan lebih lengkap tentang pembantaian di Desa Kapal diungkap sejarawan John Roosa dalam buku Riwayat Terkubur: Kekerasan Antikomunis 1965-1966 di Indonesia (2024).

Bali, Gunung Agung, 1966

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Dua perempuan di suatu jalan desa dengan latar Gunung Agung, Bali, 15 Juni 1966. Lima atau enam bulan sebelumnya, wilayah itu dihantam pembantaian massal terhadap orang-orang yang dicap PKI.

Roosa menulis bahwa pembantaian di Desa Kapal, Kabupaten Badung, Bali, bukanlah peristiwa historis yang terdokumentasi.

“Kita tidak akan menemukan paparannya di buku-buku sejarah, sekalipun korbannya termasuk tokoh-tokoh publik terkemuka,” tulis Roosa.

“Seperti Ktut Kandel, pimpinan Committee Daerah Besar (CBD) Bali, dan I Gde Puger, seorang pengusaha kaya, impresario kultural, dan veteran perang kemerdekaan yang dihormati,” katanya.

Namun menurut Roosa, pembantaian mereka menjadi rahasia umum pada waktu itu.

“Banyak orang Bali, termasuk beberapa keluarga korban, mendengar cerita tentang pembantaian di [Desa] Kapal.”

Cerita mengenai kejadian di Kapal beredar dari mulut ke mulut hingga menjadi semacam legenda, katanya.

G30S, PKI, partai komunis indonesia

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Sejumlah tentara, tak jauh dari rongsokan sebuah mobil yang terbakar di hari-hari awal Oktober 1965, menyusul upaya kudeta yang gagal.

Namun kejadian ini, menurut Roosa, tidak pernah tercatat secara tertulis, setidaknya dalam dokumen yang terbuka untuk umum.

“Sebagai contoh, satu-satunya harian yang masih terbit di Bali pada Desember 1965, Suara Indonesia, tidak memberitakan pembantaian Kapal ataupun pembantaian lain mana pun di pulau tersebut,” ungkapnya.

Dalam riset selama bertahun-tahun, Roosa berhasil bertemu sejumlah saksi mata pembantaian di desa itu.

Dari hasil wawancara dengan para saksi itu, Roosa menemukan fakta-fakta bahwa pembantaian di Desa Kapal itu direncanakan oleh Angkatan Darat.

Dengan melalui perintah tertulis, tentara melibatkan kelompok milisi tameng Marhaenis di desa itu.

Sang pemimpin milisi itu, menurut saksi mata seperti dikutip Roosa, kemudian memerintahkan anak buahnya menggali lubang di sebuah setra (kuburan) di sudut Desa Kapal, pada siang hari.

KAMI, 1966, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, 1965

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Para mahasiswa yang tergabung KAMI—Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia—berunjuk rasa di Jakarta menuntut pembubaran PKI, Oktober 1965

Disiapkan pula di mana lokasi persis di mana para tahanan akan dieksekusi. Kejadiannya disebutkan pada 16 Desember 1965, ungkap saksi lainnya.

Malam harinya, tahanan yang dibawa dari Kota Denpasar ke lokasi pembantaian dengan mengendarai rombongan panser dan mobil Gaz buatan Soviet.

Ada saksi mata menyebut yang membawa mereka adalah RPKAD. Keterangan saksi-saksi yang dihimpun Roosa menyebutkan, tentara mengundang sejumlah pejabat di Denpasar untuk menyaksikannya.

Adapun warga diminta menjauh, walaupun ada saksi yang menyebut aksi ini juga disaksikan warga secara sembunyi-sembunyi.

Mereka disebutkan melihat dari belakang posisi prajurit RPKAD yang memegang senapan mesin.

Para tahanan ditutup mata dengan tangan terikat, kata saksi lainnya.

Suharto, 1965, pembunuhan massal 1965, PKI

Sumber gambar, JEWEL SAMAD/AFP

Keterangan gambar, Tuntutan agar pemerintah Indonesia mengungkap kasus pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh simpatisan atau anggota PKI disuarakan secara terbuka dalam unjuk rasa oada 28 September 2005.

Dan sosok I Gde Puger mendapat perlakuan khusus. Dia dibunuh dengan pedang, kata saksi.

Seorang saksi mata meyakini jumlah tahanan ada 35 orang yang dibunuh. Jenazah mereka disebutkan tidak diseret tapi diangkat baik-baik.

Dilaporkan pula bahwa para prajurit RPAD meminta para saksi mata minta tutup mulut.

Setelah pasukan penembak melepaskan pelurunya, para tahanan lalu berjatuhan tidak bernyawa.

Dan menurut saksi mata Puger baru dibunuh belakangan.

Dia dipisahkan untuk eksekusi yang sangat brutal dengan menggunakan pedang.

PKI, partai komunis indonesia, Universitas Res Publika, 15 Oktober 1965

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Massa merusak salah-satu bangunan di kompleks Universitas Res Publica di Jakarta, 12 Oktober 1965.

Jasadnya dimasukkan paling dahulu ke dalam kuburan massal di bawah jasad-jasad yang lain, ungkap saksi yang dikutip Roosa dalam bukunya.

Seorang saksi menyebut ada dua orang warga Desa Kapal yang disebut memutilasi Puger.

Yang satu orang memeganginya dan satu lagi memotong lengan dan menikam dadanya. Ini perintah seorang tameng dari Denpasar, ujar saksi.

Pasukan RPKAD lalu menyuruh warga ihkan lokasi eksekusi.

Mereka juga diperintahkan memasukkan jenazah-jenazahnya ke lubang yang sudah disiapkan sebelumnya.

Selama melakukan riset, Roosa juga mendatangi lokasi eksekusi Gde Puger dan puluhan orang pimpinan dan anggota PKI dari Denpasar di Desa Kapal.

Desa Kapal, Tabanan, Bali, pembantaian 1965-1966 di Bali, I Gde Puger, PKI, CBD Bali, I Wayan Beratha Yasa, Beratha, Banjar Langon, Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Heyder Affan

Keterangan gambar, Dan di siang hari yang terik, Selasa, 3 September 2024 lalu, I Wayan Beratha Yasa akhirnya mau mengajak kami ke lokasi pembantaian orang-orang yang dicap PKI—tanpa menyebut nama I Gde Puger.

Dan di siang hari yang terik, Selasa, 3 September 2024 lalu, I Wayan Beratha Yasa akhirnya mengantar kami ke lokasi pembantaian orang-orang yang dicap PKI—tanpa menyebut nama I Gde Puger.

Lokasinya tidak begitu jauh dari rumahnya di Desa Kapal.

Di sebuah tanah yang luas, di kejauhan ada setidaknya dua pohon tinggi.

Lokasi itu juga dijadikan tempat pengabenan dan kuburan (setra).

Di depannya ada warung makan. Lalu Beratha mengajak kami ke sekitar dua pohon tersebut.

Tangannya lalu menunjuk satu sudut.

“Perkiraan saya di sini kuburan PKI, di sebelah pohon,” kata Beratha lirih. Dia mengaku diberitahu seorang saksi mata pembunuhan massal itu.

Suara Beratha bersaing dengan raungan suara motor dan bising mesin pemotong batu.

“Masa itu sangat keji, ngeri, kasihan, campur aduk gitu. Jangan terjadi lagi…”

Ucapan Beratha ini terus mengiang setelah kami meninggalkan lokasi bekas pembantaian di Desa Kapal, Badung, Bali.

Artikel ini merupakan tulisan kedua dari liputan khusus Pembantaian massal 1965-1966 di Bali.